Etika secara umum didefinisikan sebagai suatu kepercayaan atau pemikiran yang mengisi suatu individu, yang keberadaanya bisa dipertanggung jawabkan terhadap masyarakat atas perilaku yang diperbuat. Biasanya pengertian etika akan berkaitan dengan masalah moral.
Moral adalah tradisi kepercayaan mengenai perilaku benar dan salah yang diakui oleh manusia secara universal. Perbedaanya bahwa etika akan menjadi berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.
Sebuah survei menyebutkan bahwa penggunaan software bajakan yang berkembang di Asia saat ini bisa mencapai lebih dari 90 %, sedangkan di Amerika kurang dari 35 %. Ini bisa dikatakan bahwa masyarakat pengguna software di Asia kurang etis di banding di Amerika.
CONTOH KASUS PELANGGARAN PENYALAHGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI YANG BERHUBUNGAN DENGAN ETIKA.
1. Kasus video asusila selebriti, yang melibatkan Ariel Peterpan, Luna Maya dan Cut Tari
Pada pertengahan tahun 2010 silam, kasus video asusila ariel peterpan dengan beberapa selebritis paling banyak dibicarakan. Video yang semula dibuat untuk kepentingan dan koleksi pribadi kemudian disebarluaskan ke publik oleh pihak yang tidak bertangung jawab. Sehingga para pelaku video asusila tersebut harus berurusan dengan polisi. Bagaimanapun tindakan perzinahan itu melanggar norma-norma agama, sosial, kesusilaan, kesopanan. Apalagi pada masyarakat Timur, perzinahan adalah hal yang sangat tabu bahkan di negara barat sendiri, kasus video porno adalah hal yang sangat memalukan. Beberapa tahun lalu ada suatu pergerakkan yang menggalakkan jangan bugil di depan kamera, tetapi hal tersebut diabaikan bgitu saja, padahal itu mencegah orang-orang untuk tidak bugil di depan kamera dan mencegah perbuatan-perbuatan asusila yang sengaja direkam untuk keperluan pribadi. Solusi untuk masalah ini adalah perkuat undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) karena undang-undang ITE ini dianggap belum mampu mengikat secara kuat, undang-undang yang sejatinya memberikan kepastian hukum bagi penduduk dunia maya yang senantiasa menggunakan internet dan komputer dalam kehidupannya ini (menurut beberapa kalangan) malah memberikan ketidakpastian hukum, disebabkan adanya suatu pasal yang dianggap karet, karena indikator dan batas pengikatnya terlalu abstrak dan tidak jelas. Dan perkuat Undang-undang Pornografi, sehingga masyarakat tidak akan sembarangan berbuat asusila.
2. Pembobolan bank oleh sekelompok hacker yang domotorin oleh Kristina Svechinskaya
Dalam menjalankan aksinya, Svechinskaya bekerja bersama 37 hacker lainnya.
Gadis berusia 21 tahun itu saat ini ditahan di New York. Svechinskaya memanfaatkan virus 'Zeus Trojan' dan malware lainnya untuk membajak komputer orang lain.
Lalu, secara rahasia, para hacker komplotannya memantau aktivitas komputer korban, mencuri nomor rekening bank dan password. Dengan modal itu, mereka lalu mengambil uang jutaan dollar dari rekening korban. Seperti dimuat situs Daily Mail, Rabu 13 Oktober 2010, uang hasil curian itu lalu ditransfer ke ratusan rekening bank palsu milik perantara di Amerika Serikat yang menerima dan mencuci uang hasil kejahatan cyber. Svechinskaya juga berperan sebagai perantara yang mendapatkan komisi 10 persen dari uang curian yang ditransfer oleh hacker lainnya. Svechinskaya punya sedikitnya lima rekening atas nama sendiri dan beberapa alias, di antaranya Anastasia Opokina dan Svetlana Makarova.
Solusi : artikel ini saya dapatkan melalui situs lokal, masih berhunbungan dengan kasus diatas tetapi solusi untuk pencegahan pembobolan bank untuk di Indonesia.
Ada beberapa perspektif yang dapat dikembangkan dari kasus pembobolan bank, belakangan ini. Satu, kondisi perpolitikan dan kepastian hukum masih berada di wilayah abu-abu. Akibatnya, para pelaku beberapa kasus pembobolan bank atau hampir semua pelakunya tidak dihukum setimpal.Dua, lemahnya sistem pengawasan internal di bank bersangkutan bikin fungsi cabang bank menjadi fungsi yang menumpangtindihkan bisnis dengan kontrol. Cabang bank seperti menjadi pusat kekuasaan pemimpin cabang, sehingga sulit dideteksi dengan sistem pengawasan yang lemah.
Tiga, masalah mental dan moral pegawai bank itu sendiri. Boleh jadi, problem ini memang rumit karena melibatkan banyak dimensi dan banyak orang. Tapi, boleh jadi, hal itu dilatari lingkungan dan jenjang karier. Karyawan yang kariernya mentok karena perubahan kondisi internal yang didilakukan manajemen atau pemilik membuatnya berpikiran pendek. Apalagi jika lingkungan atau debitor mengiming-imingi dengan kekayaan.
Di luar itu, selain dipicu moral hazard pegawai bank, kasus-kasus pembobolan bank belakangan ini juga disebabkan tak mampunya sistem pengawasan BI mencegah kejahatan secara dini. Karena itu, selain perlu meningkatkan kompetensi jajaran pengawas bank, BI juga perlu mengonsolidasikan fungsi pengawasan dan pemeriksaannya.
Sistem pengawasan dengan pendekatan kepatuhan perlu ditindaklanjuti dengan mempercepat pelaksanaan sistem risk-based supervision ke seluruh jajaran perbankan tak terkecuali. Apalagi, risiko operasional belakangan ini mulai banyak terjadi. Tidak terbatas pada bank pemerintah dan swasta nasional, tapi juga bank-bank yang dimiliki pihak asing.
Langkah perbaikan organisasi di bidang pengawasan ini perlu dilakukan agar pembobolan bank oleh pemilik, pengurus, dan pegawai bank tidak terjadi lagi. Pengalaman mengajarkan, kepemilikan bank di Indonesia rawan moral hazard dan sistemnya memungkinkan terbukanya pintu yang lebar bagi moral hazard.
Masih adanya program penjaminan adalah salah satu contohnya. Apalagi, tidak semua bank sudah menerapkan manajemen risiko secara benar. Bahkan, komisaris independen dan direktur kepatuhan cenderung sekadar pajangan karena begitu kuatnya pengaruh pemilik bank.
Karena itu, BI perlu mempercepat penerapan manajemen risiko kepada seluruh bank. Apalagi, pemeriksaan yang dilakukan BI secara umum dan pemeriksaan khusus hanya untuk fit and proper test, pemeriksaan modal dan kualitas aktiva produktif, serta penerapan know your customer (KYC). BI baru akan mengawasi secara intensif jika suatu bank memiliki potensi kesulitan. Artinya, kalau suatu bank tidak sedang terjepit kesulitan, ia tidak diawasi secara intensif.
Padahal, ketaksehatan bank bisa datang kapan saja. Apalagi, dalam situasi sekarang yang rawan peningkatan non performing loans (NPL), rendahnya kapasitas kredit, dan tekanan risiko operasional, kinerja bank bisa memburuk mendadak.
Harusnya, pengawasan bank pada umumnya langsung menyangkut aspek moral, khususnya dalam pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Kredit grup yang dilatari perangkapan pemilik dan pengurus bank serta debitor mestinya tidak bisa ditolelir lagi. Sebab, kejahatan bank lewat kredit fiktif dan BMPK ini telah mengusik rasa keadilan publik.
Saat ini, BI sudah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 5/8/PBI/2003 tentang manajemen risiko bank umum. Ia meliputi risiko kredit, likuiditas, pasar, operasional, hukum, reputasi, strategi, dan kepatuhan. Tapi, bank berukuran lebih kecil dan kompleksitas usahanya masih rendah hanya dikenai empat risiko, yaitu risiko pasar, kredit, likuiditas, dan operasional.
Haruskah seluruh bank menerapkan semua aspek risiko tanpa membedakan bank besar ataupun bank kecil? Artinya, risiko reputasi dan kepatuhan harusnya tidak melulu diberlakukan bagi bank besar. Bank kecil yang sebagian besar dikelola keluarga juga perlu menerapkan keduanya.
Untuk mendorong efektivitas pengawasan bank, sekurangnya, ada beberapa syarat yang mesti diperhatikan. Misalnya, penerapan internal control yang baik, sumber daya manusia yang baik, penerapan good corporate governance, disiplin pasar, kompetensi jajaran pengawasan BI, dan law enforcement. Jangan sampai pemilik bank yang membobol banknya tidak bisa dijerat hukum pidana.
Jangan lagi terulang, sangat sedikit kasus pembobolan bank yang dilakukan pemiliknya dimejahijaukan. Padahal, 90% bank yang rusak pada waktu krisis menyimpan unsur pidana yang melibatkan pemilik dan pengurus bank.
Sedikitnya pembobol bank yang dihukum, karier karyawan bank yang mentok, dan pengawasan yang lemah seperti telah menginspirasii pembobol bank. Jangan biarkan bank terus dibobol. Sebab, tingkat kepercayaan masyarakat akan melemah dan risiko sistemik akan muncul bila hal itu terjadi pada bank-bank besar dengan kerugian yang besar pula.
Pemerintahan juga harus mampu menjebloskan para perompak bank. Sudah seharusnya kita bahu-membahu membersihkan bank dari perilaku menyimpang segelintir pekerja bank. Kendati kita masih punya bankir-bankir yang bermartabat
Sumber : http://www.dw-world.de/dw/article/0,,5842102,00.html
http://www.bcs.org
www.digi-ti.com
www.infobanknews.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
woww...ini sangat membantu tugas saya...terima kasihh :) smga artikel km jg bermanfaat bagi orang lain :) kunjungi jg blog saya di ndiiermha.blogspot.com
BalasHapus